Selasa, 02 Februari 2016

Bertanya dibalik diam

Pagi itu, kami mendadak dikumpulkan di ruangan bawah, tidak seperti biasanya.
Suasananya hangat, khas ruangan tersebut.
Karena terlalu mendadak dan saya masih menerima pemohon yang sedang konsultasi, saya menjadi orang terakhir yang menyadari bahwa semua sudah berkumpul terpusat pada satu orang. Saya menarik satu kursi dengan posisi terbelakang. Tiba-tiba beliau mengatakan: kursinya tarik ke depan, saya harus terlihat beliau.
Sesuatu dalam hati saya mendadak siaga, ada berita apa lagi hari ini? Mungkinkah terkait saya?

Menit demi menit berjalan dengan penjelasan beliau, tuturnya penuh kelembutan khas beliau tapi tegas tiap kata, sampai di satu waktu saat beliau mulai menangis. Saya tertegun.
Beliau? Air mata?
Sosok yg selalu saya kagumi kecerian dan semangatnya, sosok yg ramah dan penuh dedikasi, sosok yg selalu saya temukan saat awal waktu shalat di mushala untuk berjamaah, sosok yg memilih untuk berpenampilan sederhana dan membumi-tdk menampilkan kelimpahan materi yg sebenarnya dimiliki jabatannya, sosok yg tak pernah menghakimi dan bertutur lembut bahkan dalam marahnya, sosok yg menjadi salah satu alasan untuk berusaha bertahan di tengah kedzaliman disini, dan kini sosok sabar itu mengeluarkan air mata....
Ada ribuan jarum seperti menyengat di hati dan mata saya, sebisa mungkin saya tahan agar tdk ikut menangis, beliau pernah melihat saya menangis hebat diruangannya beberapa bulan yg lalu saat saya meminta izin untuk mundur dan mutasi, sejak saat itu saya berjanji pada diri sendiri utk tdk menangis lagi dihadapannya. Hati saya mencelos melihat beliau segera mengusap air matanya dan kembali tersenyum, senyum getir lalu melanjutkan kalimat-kalimatnya.

Dan sampailah pada kalimat itu, mutasi.
Beberapa nama disebutkan, siapa dan apa alasan akan dimutasi. Saya bergerak resah, berharap, sangat berharap ada nama saya yang disebut.  Saya menatap beliau yg sejak awal tadi tak pernah menatap saya, tatapan beliau selalu ke sekeliling. Tiba-tiba beliau menatap saya. Dalam sepersekian detik saya melihat, dibalik tatapannya seolah mengatakan ada sesuatu yg akan mengguncang saya.

Setelah semua nama yg akan mutasi disebutkan, beliau menambahkan diujungnya, "khusus untuk icha, icha pasti bertanya, mengapa bukan saya? Walau icha seorang apoteker, dan semua yg dimutasi dari ruangan adalah tenaga farmasi. icha akan tetap disini, karena dibutuhkan disini. Lagipula icha mendapat tambahan amanah baru, belajar, banyak bertanya dan jangan diam."
Deg!Kecewa...Hati saya teriris, pikiran saya kosong, mata saya mulai berembun, tidak, saya tidak akan menangis. Kekecewaan ini bukankah lama-lama terbiasa,sudah bertahun-tahun bukan dirimu belajar untuk kuat menjalaninya. Saya hanya bisa mengangguk pelan. Menunduk dan tak sanggup menatap beliau lagi hingga beliau selesai dan pergi meninggalkan ruangan kami.

"Why not me?"
"Why not me?"
"Why not me?"
Hanya kalimat itu yg terngiang-ngiang di pikiran saya. Saya hanya mampu duduk terdiam di meja saya. Semua mulai mengerjakan aktivitas seperti biasa, saya mulai ikut mengetik menyelesaikan tugas-tugas yang menumpuk, masih dengan perasaan hampa. Layar dihadapan saya terlihat kabur dan air mata itu mengalir dalam diam.

#ketika seseorang sudah berusaha sejak awal bertanya tetapi dipermainkan, berfikir positif tetapi dijelekkan di belakangnya, menurut ketika disuruh bahkan suruhan yg seperti cleaning service, menerima ketika dimaki dan ditekan, dikecilkan pekerjaannya, dituduh menghilangkan barang yang tidak dihilangkannya, diklaim hasil pekerjaannya, dihina dengan seenaknya dan terakhir dibully ramai-ramai. Apakah salah jika ia memilih diam?#

Mereka tak pernah bertanya mengapa saya diam? Ada alasan apa seorang icha menjadi pendiam? Mereka menyalahkan kediaman saya. Maka anda tidak,sangat tidak mengenal saya....

Dan saya meminta mundur, bukankah mereka terganggu dengan kehadiran saya? Bukankah saya tidak berguna dihadapan mereka? Mereka yang membully saya? Mereka yang merendahkan kerja keras saya? Lalu mengapa, mengapa bukan saya yang dimutasi? Why not me....

#Allah, belum....hamba belum paham apa keinginan takdir-Mu. Pikiran hamba masih penuh dengan pertanyaan, mengapa bukan saya? Maafkan hambaMu yang dzalim ini yang seharusnya bisa lebih bersabar dan bersyukur....
Ini adalah tahun ketujuh Engkau memberikan amanah pada hamba dari hasil tes PNS murni, berkali-kali diri ini jatuh bangun dan ingin menyerah dan berkali-kali pula Engkau malah berikan amanah-amanah baru.
Allah, harus bagaimana diri ini? Allah, hanya Engkau alasan yang bisa membuat diri ini kuat,itu saja....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar